Cerpen Remaja Detikan Waktu Harapanku oleh Ni Made Suciani


Wijana97. Hai sobat, sudah lama banget nih mimin gak pernah memposting artikel lagi lantaran kesibukan kuliah dan sekarang sudah bekerja jadinya waktunya berasa berlalu begitu aja hehe......  kali ini mimin mau share sebuah cerpen nih dari sahabat mimin yang cantik dan baik hati pastinya😃😄
selamat membaca......................

Judul :Detikan Waktu Harapanku
Penulis : Ni Made Suciani
https://wayanwijana97.blogspot.com/
Ni Made Suciani

Hembusan angin rikala itu menyeruku untuk memeluknya, wajah seseorang yang disampingku terasa samar oleh efek senja, ia pun merangkul erat tubuh mungil ini. Tidak banyak kata yang mampu aku lontarkan hanya mampu mendengarkan, karna sesungguhnya aku tidak pandai berbicara. Hingga senja pun digeser malam dan kami berjalan meninggalkan jejak remang-remang dikawasan tandus itu. Hingga saat ini, aku terdiam membaca koran berharap ada sepucuk kabar darimu, kalau dari via telephone sangat tidak memungkinkan karna hanya tersedia telephone umum yang letaknya jauh diujung desa, lebih tepatnya lagi diperbatasan kota menuju desa yang masih terdiri beberapa batu bongkahan besar bekas letusan gunung aktif beberapa puluh tahun silam. Yang hanya bisa aku lakukan dengan lembaran koran ditanganku bukan untuk membuat mainan pesawat terbang yang nantinya berubah seketika menjadi pesawat nyata, sama sekali konyol karna aku tidak memiliki ilmu sihir seperti Harry Poter dan aku tidak ingin seluruh benda yang ada di desa ini melayang diudara karna kelakuanku ketika memiliki ilmu sihir. Yang aku  lakukan  sekarang lebih ajaib dari Cinderella yang  berubah  ketika  lonceng  jam 12 malam berbunyi pada akhirnya meninggalkan  sepatu  kaca  yang  anehnya  sepatu kaca itu tidak berubah meski sudah lewat dari jam 12 malam. Aku menantikan kabarnya diantara deretan huruf dan angka yang tersusun rapi dilembaran koran yang aku baca setiap pagi, apabila terdapat gambar wajahnya maka itu adalah bonus untukku. Jika hal ini terjadi, benar kataku bahwa hidupku lebih ajaib dari cerita dongeng anak-anak yang pernah aku baca.

Langkah kaki terdengar samar lama kelamaan menjadi begitu jelas mendekati posisi dudukku di tepi bukit. Tidak, aku saat ini tidak berpikir untuk bunuh diri, hanya terdiam memandangi lautan yang mengelilingi daratan. Terkadang aku iri dengan mereka, mengapa daratan dan lautan selalu berdampingan? Akankah aku harus merubah diriku menjadi daratan dan dia lautannya? Jika iya maka aku dengan senang hati bersedia berdoa agar kami menjadi seperti mereka. Ketika aku sedang memejamkan mata untuk mulai berdoa dalam hati, pemilik langkah kaki itu mengagetkan dengan menepuk pudakku. Perlahan aku berbalik dan wajah yang tidak asing lagi kupandangi, dia adalah Etbi, ibu tetangga yang menjadikanku anak asuhnya. Meskipun aku hanya anak asuh tapi buk Etbi memperlakukanku sama seperti anak-anaknya. Dengan penghasilan yang pas-pasan dia menanggung hidup kami dengan rasa syukur setiap harinya. Terkadang aku belajar tegar dari buk Etbi.

“Ling kenapa dia saja? Kamu sakit?”. Tanya buk Etbi saraya menempelkan telapak tangannya pada jidatkku. Ku raih tangan buk Etbi “Tidak bu hanya diam sejenak, tapi lingga sudah selesai istrihatnya”. Iya namaku Lingga dipanggil Ling, Ngga dan Lingga. Buk Etbi pun tersenyum memandangiku dan menghembus nafas dengan keras sambil menatap indahnya lautan yang luas. “Lihatlah.. betapa hebatnya aku mampu membesarkan anak manis ini sehingga menjadi bunga desa”. Teriak buk Etbi yang diikuti oleh suara tawannya dan aku memeluk buk Etbi, itulah salah satu cara yang dia lakuka untuk menghiburku saat dia tahu kalau aku merindukan seseorang yang bertahun-tahun tinggal bayangan. Kami pun melanjutkan mengumpulkan kayu bakar dari ranting-ranting  pohon yang sudah kering. Kami tidak menyiksa tumbuhan malahan kami membantu mengurangi beban tumbuhan kering tersebut dengan mengambil ranting-ranting yang sudah tidak berfungsi dengan demikian tumbuhan itu akan hidup dengan nyaman dan mampu menghasilkan ranting yng baru dan hijau segar.

Saat ini umurku 18 tahun, wajarnya sudah kelas 3 SMA, tapi aku hanyalah seorang remaja yang putus sekolah selain karna tidak ingin membebani buk Etbi terlalu banyak, letak sekolah dari desaku juga sangat jauh menghabiskan waktu 4 jam jika berjalan kaki, jadi aku dan anak-nak lainnya hanya belajar dari buku-buku pelajaran yang disumbangkan oleh desa dan kota tetangga. Suatu ketika saat aku sedang mencari kayu bakar tidak dengan buk Etbi karna dia sedang menjual kayu bakar yang kami kumpulkan kepasar. Para ibu tetangga bercerita riang, aku dan anak-anak lain pun bergurau riang. “Lingga sudah mendengar kabar dari ayah?”. Tanya salah satu ibu tetangga yang sekalian memberhentikkan tawaku tanpa hitungan detik, ingin rasannya aku berkata bu tolong jangan membangunkan rasa sepinya Lingga yang berusaha keras untuk tidur, tapi yang keluar dari bibirku “Belum buk”. saraya tersenyum lebar yang tergolong memaksa. “Kenapa tidak cari saja ke kota? Siapa tahu ayahmu sudah punya rumah dan banyak uang, ayah macam apa yang tega meninggalkan anaknya seorang diri”. Sambungnya lagi, kali ini aku benar-benar ingin melempar kayu bakar kearah ibu itu, tapi aku tahan karena aku memiliki budipekerti yang baik, bahkan nilai budipekertiku saat SMP 9,5 aku tidak ingin menghancurkan nilai yang indah itu. Aku hanya tersenyum meski kata-katanya menyakitkan tapi aku ingat bagaimana mereka menyayangiku hingga aku tumbuh dengan baik.

Perkataan ibu tetangga tadi pagi benar-benar menghantui dan mendorong kedua tanganku untuk berkemas-kemas pergi mencari ayah yang meninggalkanku saat umurku belum genap 5 tahun. tapi jika mencarinnya aku tidak yakin kemana aku mencarinya? Berapa umurnya? Apakah wajahnya masih sama dengan 13 tahun yang lalu? Dan beraneka pertanyaan lain memenuhi otakku “Hari ini Lingga sangat lelah”. Gumamku saraya memandangi langit-langkit kamar yang terbuat dari anyaman bambu. Tidak lama kemudian geseran pintu terdengar diikuti oleh suara buk Etbi yang mengajakku makan. Jika aku pergi dari desa ini artinya aku melupakan kebaikan but Etbi yang selama 13 tahun merawatku penuh kasih sayang serta orang-orang di desaku.

Akankah aku meninggalkan desa kelahirannku demi seorang ayah yang ikhlas meninggalkanku tanpa memberi kesempatan untuk bertukar kabar?, atau aku diam tanpa mencarinya dan menjalani hidupku dengan normal bersama orang-orang desa serta yang aku anggap keluarga sendiri yaitu keluarganya buk Etbi?. Jika aku bertemu ayah apa yang aku lakukan?, hanya ingin bertanya mengapa dia meninggalkanku? Sudah jelas jawabannya dia hanya ingin mencari kehidupan yang lebih baik dan pada akhirnya lupa bahwa disinilan di desa inilah kehidupan baik yang sesungguhnya, hidup bersama orang yang dicintai dan bersama tetangga yang saling merangkul dari dia kecil hingga menjadi seorang ayah. Aku yakin ayah pasti menyesali atas tindakan yang ia lakukan, tapi aku tidak membenci ayah karna pilihan yang ayah ambil pasti memiliki alasan walapun ayah tersesat karnanya. Kapanpun ayah kembali selama detik waktu masih terasa dijantungku, Lingga selalu menanti.

***

Baca Juga : Keindahan Bayangan

Demikian postingan mimin hari ini, semoga bermanfaat khususnya bagi pembaca yang seneng baca cerpen (cerita pendek) remaja ini. 

hargai karya orang lain dengan tidak meng-copy paste sembarangan tanpa menyertakan link aslinya


Cerpen Remaja, Cerita Inspirasi, Detikan Waktu harapanku, Made Suciani, Anak Seraya, 

4 comments

Berkomentarlah dengan positif dengan bahasa yang sopan dan no-spam